METRORIAU.COM
|
![]() |
|
||
POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR |
PEKANBARU – Forest Stewardship Council (FSC), organisasi nonpemerintah internasional yang berfokus pada pengelolaan hutan berkelanjutan, menyatakan komitmennya mengatasi permasalahan degradasi hutan
di Provinsi Riau.
Komitmen FSC ini bertujuan untuk menjadikan Riau sebagai pusat budaya Melayu dengan sumber daya manusia (SDM) yang unggul, ekonomi yang maju, dan lingkungan yang tetap terjaga.
Direktur PT Patala Unggul Gesang, Ir Nazir Foead, MSc, dalam media briefing Moderasi Riau mengenai pengelolaan hutan yang digelar, Selasa (21/1/2025) di Pekanbaru., mengungkapkan harapannya agar Riau dapat mencapai visi tersebut.
“Kami ingin Provinsi Riau menjadi pusat budaya Melayu dengan SDM yang mumpuni, pembangunan ekonomi yang terdepan, dan lingkungan alam yang tetap terjaga,” ujarnya di Pekanbaru, Selasa (21/1/2025) petang.
Namun, tantangan serius berupa degradasi hutan menjadi perhatian utama. FSC hadir dengan solusi melalui kebijakan remediasi atau pemulihan lingkungan.
"Konsep remediasi FSC melibatkan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, dunia usaha, masyarakat, hingga akademisi. Ini adalah langkah strategis untuk mencapai visi besar Riau," tambah mantan Kepala Badan Restorasi Gambut ini.
Didirikan pada tahun 1993 di Jerman, FSC adalah organisasi yang menetapkan standar pengelolaan hutan yang bertanggung jawab. Produk yang memenuhi standar FSC akan mendapatkan label bersertifikat FSC, yang menjamin bahwa pengelolaannya ramah lingkungan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta melindungi hak masyarakat adat.
Melalui program FSC Remedy Framework, organisasi ini berfokus pada pemulihan kerusakan lingkungan dan sosial yang disebabkan oleh praktik-praktik yang tidak berkelanjutan. Program ini juga bertujuan untuk memperkuat ketahanan masyarakat lokal dan adat yang bergantung pada hutan.
Nazir juga menekankan pentingnya instrumen mediasi untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
“Langkah ini tidak hanya mendukung perbaikan lingkungan, tetapi juga membantu Riau mencapai posisi sebagai pusat budaya, dengan ekonomi yang maju dan ekosistem yang terjaga,” katanya.
Dengan sinergi antara kebijakan FSC dan komitmen berbagai pihak, Riau diharapkan dapat menjadi contoh pembangunan berkelanjutan yang mengintegrasikan budaya, ekonomi, dan pelestarian lingkungan.
Direktur FSC Indonesia, Hartono Prabowo, menjelaskan bahwa FSC Remedy Framework merupakan langkah baru dalam pemulihan ekosistem lingkungan dan sosial di Indonesia.
"Framework ini dirancang untuk mengakomodasi kepentingan restorasi lingkungan. FSC menyiapkan sistemnya, termasuk contoh remediasi lingkungan yang sudah teruji," jelasnya.
Hartono memaparkan bahwa proses remediasi dilakukan melalui dialog dan kesepakatan bersama dengan pemangku kepentingan.
“FSC mensyaratkan minimal 20 persen kawasan yang dikelola harus dilindungi, baik di dalam kawasan maupun di daerah yang terdampak atau sekitarnya. Setiap proses juga melibatkan audit dan konsultasi publik,” tuturnya.
Deputi Direktur Pusat Sains Kelapa Sawit Instiper, Dr. Agus Setyarso, menekankan pentingnya remediasi bagi masyarakat lokal dan hutan di Indonesia.
“Kerusakan hutan di Riau harus diperbaiki. Jika ada pihak yang ingin berkontribusi memperbaikinya, mengapa tidak didorong?” kata Dr. Agus.
Dr. Agus juga mengapresiasi pendekatan transparansi yang diterapkan FSC. “FSC membuka pintu, dan koridornya sudah jelas. Namun, pelaksanaannya sangat tergantung pada peran serta para pemangku kepentingan. Yang menjadi target adalah data dan informasi yang lebih terbuka,” tambahnya.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Dr. Meyzi Heriyanto, SSos, MSi, turut memberikan pandangannya tentang pentingnya moderasi dalam pengelolaan lingkungan yang lestari di Riau.
Ia menyoroti tiga hal utama, yaitu pentingnya pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, membangun semangat partisipasi seluruh stakeholder, dan fokus utama pada kesejahteraan masyarakat, khususnya kelompok yang termarjinalkan.
“Yang menjadi tantangan utama adalah bagaimana mengawal Riau agar tetap berada di jalur pengelolaan lingkungan yang lestari. Ini harus dilakukan dengan melibatkan semua pihak demi kesejahteraan bersama,” tuturnya.
Dengan sinergi antara kebijakan FSC dan komitmen berbagai pihak, Riau diharapkan dapat menjadi contoh pembangunan berkelanjutan yang menyelaraskan budaya, ekonomi, dan pelestarian lingkungan.*