METRORIAU.COM
|
![]() |
|
||
POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR |
Di era digital, viral tak lagi sekadar sensasi—ia bisa berubah menjadi vonis sosial. Bermodalkan tangkapan layar dan dugaan, seorang kepala daerah yang telah sah dilantik bisa kembali ditarik ke panggung linimasa untuk ‘diadili’ oleh opini. Itulah yang kini dialami Bupati Rokan Hilir, H. Bistamam. Proses pencalonannya telah selesai, verifikasi dokumen di KPU telah dilalui sesuai ketentuan, namun keabsahan ijazah SD dan SMP-nya pula yang dipersoalkan. Padahal, dua dokumen itu tidak termasuk syarat pencalonannya di KPU.
Publik pun bertanya-tanya: mengapa baru sekarang dipersoalkan? Apakah dugaan itu dapat membatalkan hasil pemilihan? Secara hukum, pencalonan H. Bistamam dan wakilnya, Johny Charles, telah melalui verifikasi faktual oleh KPU. UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan dan Peraturan KPU No. 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan mengatur bahwa syarat pendidikan minimal calon kepala daerah adalah SLTA/sederajat, yang dibuktikan melalui fotokopi ijazah yang dilegalisir oleh instansi pendidikan yang berwenang.
Jawaban Normatif
Sayangnya, penjelasan dari Ketua KPU Riau dan Ketua KPU Rokan Hilir justru tidak menjawab substansi keraguan publik. Alih-alih memberi klarifikasi yang detail dan meyakinkan, keduanya hanya menyampaikan penjelasan normatif. Ketua KPU Riau Rusidi Rusdan malah hanya menjelaskan bahwa seluruh tahapan pencalonan telah sesuai prosedur dan telah diverifikasi.
Ia menyebut masyarakat berhak mempertanyakan, tetapi hak tersebut tidak boleh mengganggu hak orang lain yang telah sah ditetapkan. Sementara Ketua KPU Rohil, Eka Murlan menyebutkan, dokumen yang dilampirkan hanyalah ijazah yang dilegalisir sesuai ketentuan, dan pihaknya tidak menelusuri keabsahan ijazah SD dan SMP karena tidak termasuk syarat verifikasi.
Padahal, yang diharapkan publik dari penyelenggara pemilu bukan sekadar mengutip pasal, melainkan penjelasan terperinci yang mudah dipahami. Mengulang bunyi regulasi sama halnya dengan menyuruh masyarakat membaca sendiri undang-undang. Sebagai pejabat publik, penyelenggara pemilu memikul tanggung jawab untuk menjelaskan proses dengan transparan dan tuntas. Meskipun tahapan pemilu telah selesai, keterbukaan informasi tetap menjadi bagian dari akuntabilitas.