METRORIAU.COM
|
![]() |
|
||
POPULAR YOUTUBE PILIHAN EDITOR |
DALAM sistem negara hukum yang menjunjung tinggi asas legalitas dan hierarki peraturan perundang-undangan, Peraturan Walikota (Perwako), Peraturan Bupati (Perbup), dan Peraturan Gubernur (Pergub) tidak dapat berdiri sendiri. Ia harus tunduk dan berjalan di atas rel yang telah digariskan oleh konstitusi, serta mengacu pada UU dan Perda yang menjadi induknya.
Ketika Perwako melampaui kewenangannya, tidak hanya tatanan perundang-undangan yang terganggu, tetapi juga memunculkan ketidakpastian hukum dan berpotensi memicu sengketa. Struktur hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah diatur secara terperinci dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Secara berurutan, peraturan yang memiliki kedudukan hukum dari yang tertinggi hingga ke bawah adalah sebagai berikut: 1). UUD 1945, 2). TAP MPR, 3). UU/Perppu, 4). PP, 5) Perpres, 6). Perda (prov), 7). Perda (kab/kota).
Peraturan Pelaksana
Sementara itu, peraturan kepala daerah (Perwako, Perbup dan Pergub) tidak dimasukkan secara eksplisit dalam hierarki utama tersebut. Namun demikian, Pasal 8 ayat (2) menyebutkan bahwa jenis peraturan lain seperti Perwako, Perbup dan Pergub dapat diakui keberadaannya sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi setingkat di atasnya atau dibentuk berdasarkan kewenangan yang sah. Dengan kata lain, Perwako merupakan peraturan pelaksana teknis dari Perda tingkat kota atau Perbup untuk tingkat kabupaten dan bukan sebagai pembuat norma baru.
Pasal 15 UU No. 12 Tahun 2011 juga menegaskan bahwa materi muatan peraturan di bawah UU hanya boleh berupa penjabaran lebih lanjut dari ketentuan peraturan di atasnya. Maka, fungsi Perwako sangat terbatas: sebagai alat eksekusi teknis terhadap Perda yang sudah disepakati bersama DPRD kota.
Namun, dalam praktiknya, hal ini seringkali dilanggar. Seperti yang terjadi dalam kasus perubahan tarif retribusi parkir tepi jalan umum di Pekanbaru. Perwako No. 2 Tahun 2025 menetapkan penurunan tarif retribusi parkir. Sedangkan Perda No. 1 Tahun 2024 sudah mengatur tegas secara terpreinci, lengkap dengan struktur tarif dalam lampiran yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Perda.
Materiil dan Formil
Kebijakan ini menimbulkan dualisme regulasi: Perda menetapkan tarif, sedangkan Perwako menurunkannya secara sepihak. Padahal, merujuk pada Pasal 108 dan 109 UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, tarif retribusi hanya dapat ditetapkan melalui Perda. Maka tindakan tersebut merupakan pelanggaran baik dari aspek materiil maupun formil.
Perwako yang menyimpang dari Perda jelas melanggar asas lex superior derogat legi inferiori (aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi). Kebijakan seperti ini juga rentan digugat, baik melalui peradilan umum dalam bentuk uji materiil, maupun melalui gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), termasuk dapat melalui mekanisme Citizen Lawsuit (CLS). Jika ditemukan adanya unsur kerugian terhadap warga negara.
Kondisi menjadi lebih kompleks karena secara prosedural, Perwako lebih mudah dibuat dibanding Perda. Ia tidak memerlukan persetujuan DPRD, cukup dengan harmonisasi di bagian hukum dan tanda tangan kepala daerah. Kemudahan ini menjadi celah bagi penyalahgunaan jika tidak disertai pengawasan yang memadai dari bagian hukum pemerintah daerah. Ketika bagian hukum hanya menjadi alat legalisasi administratif, bukan penjaga produk legislasi lokal, maka lahirlah regulasi yang bertentangan dengan asas-asas hukum.
Perda Produk Legsilasi
Perwako semestinya menjadi wujud pelayanan administratif, bukan alat kekuasaan sepihak. Ia adalah instrumen pelaksana, bukan pembentuk norma hukum baru. Berbeda dengan Perda yang merupakan produk legislasi pembahasan bersama antara DPRD kota (legislatif) dan Pemko (eksekutif). Usulan inisiatif itu bisa berasal dari Pemko, dan bisa dari DPRD dalam kedudukannya yang setara. Karenanya, ketika peran legislasi ini disalahgunakan, yang muncul bukan kepastian hukum, melainkan kekacauan administratif.
Dalam kasus di Pekanbaru, dualisme antara Perda dan Perwako menimbulkan kebingungan publik. Di satu sisi, Pemko mengklaim berpihak kepada warga (publik) melalui kebijakan penurunan tarif parkir. Di sisi lain, Perda sebagai produk hukum yang sah tetap berlaku. Publik, termasuk mahasiswa, mendukung Perwako. Namun, secara hukum, kebijakan tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat. Sementara DPRD cenderung diam karena tekanan opini publik yang tidak berpihak.
Kondisi ini menunjukkan betapa pentingnya pemahaman terhadap tata urutan peraturan perundang dan mekanisme pembentukan maupun perubahan (revisi) suatu peraturan. Legitimasi sebuah kebijakan tidak bisa hanya mengandalkan dukungan publik, tetapi harus berdiri di atas prosedur hukum yang benar. Penyesuaian tarif parkir hanya dapat dilakukan melalui revisi Perda dengan persetujuan DPRD, bukan mendahului melalui Perwako sepihak.
Penutup
Sebagai langkah korektif, Pemko perlu segera meninjau ulang dan mencabut Perwako No. 2 Tahun 2025. Jika memang diperlukan penyesuaian tarif, maka jalur legislasi yang sah harus ditempuh melalui revisi Perda. Dengan terlebih dahulu mencabut Perwako. Jangan sampai yang terjadi Perda yang mengikuti Perwako. Hal ini salah dan kebablasan. Ini soal kepastian hukum, bukan sekadar teknis administratif semata.
Hukum adalah janji kolektif yang tidak boleh diselewengkan, sekalipun atas nama kepentingan warga. Setiap penyimpangan terhadap hierarki peraturan perundang-undangan harus segera dikoreksi. Karena kekuasaan tanpa hukum adalah kesewenang-wenangan. Dan hukum, pada akhirnya, selalu punya cara untuk menulis ulang setiap tinta birokrasi yang menyimpang.*
Profil Penulis
Ilham Muhammad Yasir, lahir di Selatpanjang, 15 Juni 1975. Tepatnya, di Dusun Sidomulyo, Desa Sei-Cina, Kecamatan Rangsang Barat, Kepuluan Meranti. Dari sepasang pasangan petani, (alm) Muhammad Yasir bin H Yusuf dan Ramsiah binti Sodri.
Ia menyelesaikan Pendidikan dasar di Madrasah Ibtidaiyah Al Khairiyah, dan Madrasah Tsnawiyah (MTs) Al-Khairiyah di kampungnya. Sekolah menengah atasnya diselesaikan di MAN 1 Selatpanjang.
Kekagumannya kepada sejumlah tokoh pendiri bangsa, seperti Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Mohammad Natsir dan H Agus Salim membuatnya berjuang keras untuk bisa menjejaki alam Negeri Minangkabau, Sumatera Barat.
Akhirnya, jalan takdir itu mengantarkannya menempuh dan menyelesaikan pendidikan Sarjana S1-nya (SH) di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang (2000). Ia belajar langsung di kampus hukum yang didirikan oleh salah satu dari tiga tokoh perumus Pancasila, Mohammad Yamin (Soekarno dan Mohammad Roem).
Ia juga menjadi bagian dari anak Riau yang mendapatkan kesempatan beasiswa belajar di Malaysia. Program ini pertama kali digagas oleh Gubernur Saleh Djasit (1998-2003), dan dilanjutkan Gubernur Rusli Zainal (2003-2008).
Ia menyelesaikan progam S2 Ilmu Per-UU-an (L.LM) di Fakulti Per-Undang-Undangan Universiti Kebangsaan Malaysia (2006). Saat ini sedang menyelesaikan Pendidikan Program Doktor (S3) Ilmu Hukum –Hukum Tata Negara— di Universitas Islam Riau. Spesifik pada kajian Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Keadilan Subsantif Pilpres 2024.
Waktu dan karirnya lebih banyak didedikasikan di dunia jurnalis. Di awali sejak di Riau Pos (2001) selama 13 tahun hingga pernah 10 tahun memimpin lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Riau, tanggannya tidak pernah berhenti menulis. Menulis sudah menjadi habits-nya sejak di bangku sekolah menengah atas.
Aktifitas sosialnya juga tak pernah berhenti di tengah kesibukan sebagai jurnalis. Di awal karirnya sebagai jurnalis di Riau Pos, ia menyelakan waktu ikut praktek magang di kantor pengacara Betty Deswita Syawir, SH, MH (2001). Di tahun 2002, ia ikut menginisiasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Teratai. Dan, di 2004 LBH Teratai ini kemudian menjadi cikal-bakal Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru di bawah naungan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Di Kota Pekanbaru sebagai cabang resminya yang ke-16.
Ia juga pernah merintis kantor hukum Philosophia Law Firm [2010], namun hanya bertahan hingga 2013. Karena ia terpilih menjadi anggota KPU Provinsi Riau. Pasca 10 tahun di KPU, lembaga firm hukum tersebut perlahan-lahan kembali ia hidupkan lagi. Sebagai dedikasi kepada profesi jurnalis, ia berkolaborasi dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pekanbaru dan LBH Pekanbaru menginisiasi Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBHP) Pekanbaru (2014), disela-sela mengikuti seleksi KPU Provinsi Riau ketika itu.
Saat ini salah satu kesibukannya adalah menulis dan sebagai jurnalis freelance serta fokus menyelesaikan pendidikan linier S3 Ilmu Hukum-nya di Universitas Islam Riau.*